Penyelamatan Elang
Jawa di Kuningan I
(temuan pemeliharaan
dan pendekatan persuasif
untuk penyitaan Elang Jawa)
Oleh: Laurio Leonald
Nisaetus bartelsi @copyight Ian Irawan |
Kuningan merupakan salah satu
kabupaten yang terdapat di Jawa Barat bagian timur yang berbatasan langsung
dengan Jawa Tengah. Terdapat kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dan Hutan
Lindung Bukit Pembarisan, Kuningan merupakan daerah yang memiliki habitat yang
cukup untuk satwa liar. Keanekaragaman hayati yang cukup tinggi di Kuningan
belum banyak dieksplorasi, namun beberapa catatan perjumpaan dengan jenis-jenis
satwa dilindungi sampai langka seperti Panthera
pardus melas, Presbytis comate, Trachypithecus auratus, Muntiacus muntjak,
Nycticebus javanicus, Nisaetus batelsi, Buceros rhinoceros, Aceros undulatus dan spesies dilindungi lainnya.
Tingginya tingkat keanekaragaman
hayati di Kuningan yang belum tereksplor rupanya belum mendapatkan perhatian
yang cukup untuk upaya pelestarian. Walaupun adanya PERATURAN DAERAH KABUPATEN
KUNINGAN NO. 10 TAHUN 2009 tentang PELESTARIAN SATWA BURUNG DAN IKAN nampaknya belum
cukup membuat masyarakat untuk tidak berburu dan memelihara satwa dilindungi. Hal
ini mungkin minimnya sosialisasi dan kegiatan pendidikan lingkungan hidup yang
dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya pelestarian satwa liar.
Selain itu penindakan terhadap pelaku yang melanggar dirasa belum cukup, karena
dapat dilihat dari masih bebasnya perdagangan satwa dilindungi di Kuningan.
Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) merupakan satwa endemik Pulau Jawa yang
statusnya dilindungi dan terancam punah berdasarkan IUCN tersebar di beberapa
kawasan hutan di Kuningan, mulai dari Taman Nasional, Hutan Lindung, sampai
Hutan Desa. Ini menunjukan bahwa Kuningan merupakan daerah yang cocok untuk
habitat Elang Jawa karena sebarannya cukup tinggi. Populasi Elang Jawa di
Kabupaten Kuningan bisa saja menurun diakibatkan dengan maraknya pembukaan
kawasan Hutan Desa yang dijadikan Hutan Tanaman dan perburuan baik itu untuk
perdagangan ataupun kesenangan. Aktifitas manusia ini akan dapat mengancam
kelestariannya, karena Elang Jawa merupakan spesies yang sensitive apabila
dibandingkan dengan jenis yang lain, serta hanya memiliki satu butir telur saat
berkembang biak dengan periode 2 tahun sekali.
Survey-survey kecil biasa
dilakukan disaat ada waktu luang untuk mengetahui sebaran raptor dikuningan,
biasanya sebatas membawa binocular dan kamera untuk mempermudah identifikasi. Gunung
Mayana yang merupakan Hutan Desa merupakan salah satu target survey yang
sebelumnya pada tahun 2011 pernah disurvey. Pada saat itu terpantau beberapa
jenis raptor diantranya Spilornis cheela,
Nisaetus cirrhatus, dan unident. Setelah lama tidak disurvey, dan rasa
penasaran Ian Irawan yang waktu itu bersama Laurio Leonald (penulis) sempat
melihat jenis raptor yang memiliki jambul (unident) Ian bersama teman-teman
SISMAKALA melakukan survey sekalian untuk survey kegiatan lomba lintas alam. Saat
mengamati, terpantau individu dewasa Elang Jawa yang soaring di atas hutan
Gunung Mayana yang kini sebagian besar sudah beralih fungsi menjadi hutan
tanaman jabon.
Mendapat kabar dari petani
setempat kalau di kampung ada orang yang pelihara elang, Ian Irawan mulai
memastikan dengan mendatangi rumah yang memelihara Elang Jawa tersebut. Perbincangan
singkat menyebutkan kalau Elang Jawa tersebut ditemukan jatuh di bawah pohon
sarang dengan keadaan sakit. Merasa kasihan akhirnya elang tersebut dibawa
bulang dan dirawat. Merasa Elang Jawa itu populasinya tidak terlalu banyak maka
Laurio Leonald yang mendapat kabar dari Ian Irawan segera mengkomunikasikan
dengan teman-teman SISMAKALA untuk melakukan investigasi dan pendekatan persuasif
terhadap pemilik. Selain itu segera juga mengkomunikasikan dengan pihak RAIN
(Raptor Indonesia) yang konsentrasi untuk pelestarian jenis-jenis elang. Semuanya
berjalan begitu cepat walaupun sempat gagal dan mendapat penolakan dari
pemilik, namun teman-teman SISMAKALA kembali menyusun strategi untuk bisa
mendekati pemilik, dan pihak RAIN langsung mengkomunikasikan dengan pihak BKSDA
dan TNGC. Setelah pendekatan dengan member pengertian kalau elang tersebut
merupakan jenis yang dilindungi dan terancam punah, akhirnya pemilik rela untuk
menyerahkan dengan sukarela, dan hasil komunikasi dengan pihak BKSDA dan TNGC
pun akhirnya TNGC siap menampung untuk dilepasliarkan di kawasan TNGC, karena
kawasan Gunung Mayana selain habitatnya tidak memungkinkan akibat alih fungsi
lahan, pengawasan terhadap satwa liar juga tidak ada.
Esok harinya (21/08/2013) setelah dipastikan
pemilik mau menyerahkan dengan sukarela dan pihak TNGC siap menampung untuk
dilepasliarkan kembali pihak TNGC langsung mendatangi rumah pemilik bersama
teman-teman SISMAKALA. Karena pihak TNGC belum memiliki kandang sementara yang
cukup untuk menampung sebelum dibuatkan kandang habituasi Elang Jawa tersebut
dititipkan sementara kepada pemilik tersebut sampai kandang sementara selesai
dibuat.
Bisa bernapas lega untuk
sementara, karena nasib Elang Jawa yang berada di dalam kurung sekitar satu
tahun ini dalam waktu yang tak lama dapat menikmati kebebasan di habitat
aslinya. Selain ini sebagai bentuk penegakan, harapannya kejadiannya dapat
menjadi pelajaran bagi masyarakat lainnya kalau memburu atau memelihara satwa
liar dilindungi itu tidak boleh. Selain itu harapannya bagi teman-teman yang
terlibat dapat hal ini dapat menjadi langkah awal untuk terlibat dan melakukan
aksi nyata untuk upaya pelestarian satwa liar lainnya.
Untuk tahapan selanjutnya akan
dilanjutkan pada artikel penyelamatan Elang Jawa II.
SAVE OUR RAPTOR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar