Kamis, 03 Oktober 2013

Penyelamatan Elang Jawa di Kuningan I

Penyelamatan Elang Jawa di Kuningan I
(temuan pemeliharaan dan pendekatan persuasif 
untuk penyitaan Elang Jawa)
Oleh: Laurio Leonald
Nisaetus bartelsi @copyight Ian Irawan

Kuningan merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Jawa Barat bagian timur yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah. Terdapat kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dan Hutan Lindung Bukit Pembarisan, Kuningan merupakan daerah yang memiliki habitat yang cukup untuk satwa liar. Keanekaragaman hayati yang cukup tinggi di Kuningan belum banyak dieksplorasi, namun beberapa catatan perjumpaan dengan jenis-jenis satwa dilindungi sampai langka seperti Panthera pardus melas, Presbytis comate, Trachypithecus auratus, Muntiacus muntjak, Nycticebus javanicus, Nisaetus batelsi, Buceros rhinoceros, Aceros undulatus  dan spesies dilindungi lainnya.
Tingginya tingkat keanekaragaman hayati di Kuningan yang belum tereksplor rupanya belum mendapatkan perhatian yang cukup untuk upaya pelestarian. Walaupun adanya PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NO. 10 TAHUN 2009 tentang PELESTARIAN SATWA BURUNG DAN IKAN nampaknya belum cukup membuat masyarakat untuk tidak berburu dan memelihara satwa dilindungi. Hal ini mungkin minimnya sosialisasi dan kegiatan pendidikan lingkungan hidup yang dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya pelestarian satwa liar. Selain itu penindakan terhadap pelaku yang melanggar dirasa belum cukup, karena dapat dilihat dari masih bebasnya perdagangan satwa dilindungi di Kuningan.
Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) merupakan satwa endemik Pulau Jawa yang statusnya dilindungi dan terancam punah berdasarkan IUCN tersebar di beberapa kawasan hutan di Kuningan, mulai dari Taman Nasional, Hutan Lindung, sampai Hutan Desa. Ini menunjukan bahwa Kuningan merupakan daerah yang cocok untuk habitat Elang Jawa karena sebarannya cukup tinggi. Populasi Elang Jawa di Kabupaten Kuningan bisa saja menurun diakibatkan dengan maraknya pembukaan kawasan Hutan Desa yang dijadikan Hutan Tanaman dan perburuan baik itu untuk perdagangan ataupun kesenangan. Aktifitas manusia ini akan dapat mengancam kelestariannya, karena Elang Jawa merupakan spesies yang sensitive apabila dibandingkan dengan jenis yang lain, serta hanya memiliki satu butir telur saat berkembang biak dengan periode 2 tahun sekali.
Survey-survey kecil biasa dilakukan disaat ada waktu luang untuk mengetahui sebaran raptor dikuningan, biasanya sebatas membawa binocular dan kamera untuk mempermudah identifikasi. Gunung Mayana yang merupakan Hutan Desa merupakan salah satu target survey yang sebelumnya pada tahun 2011 pernah disurvey. Pada saat itu terpantau beberapa jenis raptor diantranya Spilornis cheela, Nisaetus cirrhatus, dan unident. Setelah lama tidak disurvey, dan rasa penasaran Ian Irawan yang waktu itu bersama Laurio Leonald (penulis) sempat melihat jenis raptor yang memiliki jambul (unident) Ian bersama teman-teman SISMAKALA melakukan survey sekalian untuk survey kegiatan lomba lintas alam. Saat mengamati, terpantau individu dewasa Elang Jawa yang soaring di atas hutan Gunung Mayana yang kini sebagian besar sudah beralih fungsi menjadi hutan tanaman jabon.
Mendapat kabar dari petani setempat kalau di kampung ada orang yang pelihara elang, Ian Irawan mulai memastikan dengan mendatangi rumah yang memelihara Elang Jawa tersebut. Perbincangan singkat menyebutkan kalau Elang Jawa tersebut ditemukan jatuh di bawah pohon sarang dengan keadaan sakit. Merasa kasihan akhirnya elang tersebut dibawa bulang dan dirawat. Merasa Elang Jawa itu populasinya tidak terlalu banyak maka Laurio Leonald yang mendapat kabar dari Ian Irawan segera mengkomunikasikan dengan teman-teman SISMAKALA untuk melakukan investigasi dan pendekatan persuasif terhadap pemilik. Selain itu segera juga mengkomunikasikan dengan pihak RAIN (Raptor Indonesia) yang konsentrasi untuk pelestarian jenis-jenis elang. Semuanya berjalan begitu cepat walaupun sempat gagal dan mendapat penolakan dari pemilik, namun teman-teman SISMAKALA kembali menyusun strategi untuk bisa mendekati pemilik, dan pihak RAIN langsung mengkomunikasikan dengan pihak BKSDA dan TNGC. Setelah pendekatan dengan member pengertian kalau elang tersebut merupakan jenis yang dilindungi dan terancam punah, akhirnya pemilik rela untuk menyerahkan dengan sukarela, dan hasil komunikasi dengan pihak BKSDA dan TNGC pun akhirnya TNGC siap menampung untuk dilepasliarkan di kawasan TNGC, karena kawasan Gunung Mayana selain habitatnya tidak memungkinkan akibat alih fungsi lahan, pengawasan terhadap satwa liar juga tidak ada.
Esok harinya (21/08/2013) setelah dipastikan pemilik mau menyerahkan dengan sukarela dan pihak TNGC siap menampung untuk dilepasliarkan kembali pihak TNGC langsung mendatangi rumah pemilik bersama teman-teman SISMAKALA. Karena pihak TNGC belum memiliki kandang sementara yang cukup untuk menampung sebelum dibuatkan kandang habituasi Elang Jawa tersebut dititipkan sementara kepada pemilik tersebut sampai kandang sementara selesai dibuat.
Bisa bernapas lega untuk sementara, karena nasib Elang Jawa yang berada di dalam kurung sekitar satu tahun ini dalam waktu yang tak lama dapat menikmati kebebasan di habitat aslinya. Selain ini sebagai bentuk penegakan, harapannya kejadiannya dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat lainnya kalau memburu atau memelihara satwa liar dilindungi itu tidak boleh. Selain itu harapannya bagi teman-teman yang terlibat dapat hal ini dapat menjadi langkah awal untuk terlibat dan melakukan aksi nyata untuk upaya pelestarian satwa liar lainnya.
Untuk tahapan selanjutnya akan dilanjutkan pada artikel penyelamatan Elang Jawa II.
SAVE OUR RAPTOR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar