Rabu, 16 Oktober 2013

WORKSHOP KONSERVASI SATWA LIAR DI INDONESIA



 WORKSHOP 
KONSERVASI SATWA LIAR DI INDONESIA
"Membangun Kemitraan dalam Upaya Konservasi Satwa Liar dan Habitatnya di Gunung Ciremai, Jawa Barat"
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan banyaknya jumlah jenis yang terdapat baik itu mamalia, primata, burung, reptile, amphibi, serangga dan jenis lainnya. Tingginya tingkat keanekaragaman hayati di Indonesia tidak menjamin kelestariannya, karena banyak aktifitas manusia yang telah mengancam kelestariannya. Selain alih fungsi lahan yang mengakibatkan kualitas habitat menurun, tingkat permintaan untuk peliharaan ataupun koleksi bagian tubuh membuat perburuan dan perdagangan satwa liar semakin meningkat.
Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan habitat yang penting bagi satwa liar yang masih tersisa, termasuk jenis dengan status terancam punah dan dilindungi. Beberapa jenis terancam punah dan dilindungi yang terdapat diantaranya adalah Panthera pardus melas, Presbytis comata, Nycticebus javanicus, Nisaetus bartelsi dan jenis lainnya yang semuanya mempunyai peran penting dalam suatu ekosistem dengan perannya masing-masing. Selain merupakan habitat penting bagi satwa liar penetap, Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan kawasan yang penting bagi jenis pengembara (raptor migrant), karena merupakan salah satu jalur migrasi raptor dari belahan bumi utara pada saat musim dingin.
Apabila penurunan kualitas habitat terjadi di Gunung Ciremai ini tidak saja berdampak terhadap kelestarian satwa liar penetap, namun juga akan berdampak terhadap jenis satwa pengembara (migrant), yang selanjutnya akan berdampak bagi lingkungan. Tingginya tingkat defoestasi dan perburuan satwa liar di Indonesia dikhawatirkan juga terjadi di Gunung Ciremai apabila tidak ada upaya konservasi, yang salah satunya adalah sosialisasi pentingnya nilai keanekaragaman hayati dan upaya konservasinya. Menarik minat para peserta workshop yang diantaranya adalah mahasiswa, siswa SMA, photographer, pendaki/ranger, petugas TNGC dan kalangan lainnya untuk bisa menjadi peneliti juga merupakan tujuan dari kegiatan sosialisasi karena masih minimnya data ekologi ataupun sebaran satwa liar di Gunung Ciremai.
Untuk itu maka kegiatan workshop Konservasi Satwa Liar di Indonesia-Membangun kemitraan dalam upaya pelestarian satwa liar di Gunung Ciremai, Jawa Barat” menjadi kegiatan yang sangat penting dan diharapkan dapat bermanfaat. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh BEM Fakultas Kehutanan UNIKU dengan bekerjasama dengan RAIN (Raptor Indonesia), University of Waginengen, BTNGC (Balai Taman Nasional Gunung Ciremai), IAR (International Animal Rescue) dan WANICARE FOUNDATION serta organisasi lainnya pada tanggal 5 oktober 2013, di Kampus Universitas Kuningan.
Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 200 peserta dari berbagai lembaga dan kalangan. Tujuan dari diselenggarakannya kegiatan ini adalah dengan adanya pertukaran informasi mengenai upaya pelestarian satwa liar dan habitatnya di Indonesia, dan peningkatan kapasitas bagi para peneliti dan pemerhati satwa liar di Indonesia dapat menumbuhkan minat dan kepedulian pada generasi muda khususnya dalam upaya penelitian serta konservasi satwa liar dan habitatnya.
Kegiatan workshop ini berlangsung salam satu hari dengan adanya pemaparan dari perwakilan beberapa lembaga yang bergerak di bidang konservasi (akademik, pemerintahan, dan LSM). Materi yang disampaikan berkaitan dengan upaya konservasi satwa liar sebagai berikut:
  • Pelestarian Elang Jawa di Taman Nasional di Gunung Ciremai (BTNGC)
  • Status Konservasi Raptor di Indonesia, Studi Kasus: Konservasi Elang Jawa (Zaini Rakhman, Raptor Indonesia)
  • Konservasi Kukang di Indonesia (Richard S. More, International Animal Rescue)
  • Konservasi Surili di Indonesia (Toto Suparto, Uiversitas Kuningan)
  • Raptor Rehabilitation Program (Inge Teilen, University of Wageningen)
  • Upaya Pelestarian Kukang Melalui Program 3R (Rescue, Rehabilitation, Release) (Wendi Prameswari, International Animal Rescue)
  • Teknik Identifikasi Kukang di Indonesia (Indah Winarti, International Animal Rescue)
  • Studi Migrasi Raptor dan Upaya Pelestariannya di Indonesia, serta Teknik Identifikasi Raptor (Asman Adi Purwanto)
  • Studi Distribusi Elang Jawa dengan Menggunakan Pendekatan Metode Maximum Entropy (Tedi Setiadi, Raptor Indonesia
  • Wildlife Photography (Budi Hermawan, Wildlife Photography)
Dalam kegiatan ini banyak sekali materi ataupun informasi baru mengenai konservasi satwa liar di Indonesia. Harapannya dari kegiatan ini adalah adanya material dan pembelajaran ini dapat menjadi bahan rujukan untuk kegiatan penelitian dan upaya konservasi, dan meningkatnya minat para peneliti muda dalam kegiatan penelitian dan upaya konservasi di Indonesia.
Kegiatan ini juga harapannya tidak hanya berhenti sampai disini, namun ada lagi kegiatan-kegiatan lainnya sebagai tindak lanjut. Tema dan materi yang disampaikan juga tidak menutup kemungkinan akan disampaikan pada kegiatan selanjutnya untuk memperkaya informasi upaya konservasi satwa liar di Indonesia.

selengkapnya >>

Rabu, 09 Oktober 2013

Nisaetus bartelsi

Elang Jawa - Nisaetus bartelsi Stresemann, 1924
Javan Hawk Eagle
Nisaetus bartelsi

Elang Jawa Anakan (Juvenille)
Pada waktu baru menetas hingga berumur sekitar dua minggu, anak elang jawa masih berbulu kapas halus dan berwarna putih. Setelah itu, akan tumbuh ulu jarum yang berkembang menjadi bulu burung periode pertumbuhan dengan bentuk mendekati sempurna (bulu seperti pada saat sudah mencapai dewasa) dan berwarna gelap. Dalam periode ini jambul mulai tumbuh dan matanya berwarna hitam serta belum bisa terbang (Prawiradilaga 1999).
Anak elang jawa, warna kepala dan mahkotanya berwarna coklat kayu manis, tanpa strip kumis mesia, linkaran mata ketika lahir coklat tua kemudian merubah menjadi berwarna abu kebiru-biruan. Jambulnya berwarna hitam dengan ujungnya putih, punggung dan dayap bagian atas coklat dengan bagian bawah coklat kayu manis. Warna bagian bawah ekornya berwarna keabu-abuan dengan garis lbar di bagian ujungnya yang terlihat (Sozer 1999).
Elang Jawa Muda (Sub-Adult)
Elang jawa muda bercirikan jambul yang sudah tumbuh. Warna bulunya coklat dengan warna kmerahan pada wajah, dada dan perut. Sedangkan tengkuk, sayap, punggung, tungging dan ekornya berwarna coklet gelap. Matanya berwarna biru, kmudian secara bertahap warnanya akan memudar menjadi kuning muda (Prawiradilaga 1999). Elang jawa umur dua tahun (remaja) warna lingkaran matanya lambat laun berubah menjadi kuning, sedangkan warna mahkotanya berubah menjadi gelap dan garis-garis lebar di bagian ekor menjadi nyata (Sozer 1999).
Elang Jawa Dewasa (Adult)
Seperti halnya pada semua jenis elang, elang jawa betina memiliki ukuran tubuh lebih besar dan lebih kekar daripada jantan. Panjang tubuh berkisar 60 dan 70 cm dengan bobot sekitar 2,5 kg. Jambulnya berwarna coklat kehitaman dengan warna putih pada ujungnya. Matanya berwarna kuning, kepala, punggung, sayap dan ekornya berwarna coklat tua dengan ujungnya erwarna krem. Leher, dada dan perutnya berwarna coklat dengan garis-garis berwarna coklat tuan atau kehitaman. Pada ekornya terdapat empat buah pita berwarna hitam, namun pada umumnya hanya terlihat tiga buah pita karena pita yang terdapat pada pangkal ekor sering tersembunyi. Kakinya rlatif pendek dan kokoh serta tertutup bulu (Prawiradilaga 1999).


Ekologi dan Penyebaran
Elang jawa merupakan burung yang memiliki penyebaran terbatas (endemik) pulau Jawa dan berada jarang di semua ketinggian (MacKinnon 1995). Elang jawa merupakan salah satu jenis burung yang terdapat di pulau Jawa (endemik), dapat ditemukan di daerah hutan primer dan daerah peralihan di dataran rendah dan hutan pegunungan di Jawa, lebih umum ditemukan di tengah daerah selatan Jawa. Perluasan daerah penyebaran terjadi secara dramatis pada abad ke-19 dengan adanya perluasan daerah pertanian intensif pada jaman kolonial. Perluasan habitat yang ditempati meliputi 2.590 km² di daerah dataran rendah dan 2.640 km² di hutan lereng dan meluas di Jawa (Sozer 1999).
Elang jawa diketahui hidup di habitat hutan hujan tropis mulai dari ketinggian 0 mdpl dampai dengan 3000 mdpl, walaupun lebih terkonsentrasi pada ketinggian 500 mdpl sampai dengan 2000 mdpl (Setiadi 2000). Sozer (1999), mengatakan bahwa habitat tempat bersarang dan teritori yang digunakan selama setahun adalah yang sukar untuk dicapai, berbukit, hutan awet hijau dataran rendah tropis dan daerah bawah serta atas hutan huja tropis. Elang jawa menghuni dari daerah pantai (contoh: Meru Betiri, Ujung Kulon) hingga ketinggian 2.200 mdpl dan kadang-kadang sampai 3.000 mdpl. Jenis ini sangat tergantung dengan hutan primer.
Menurut Prawiradilaga (1999), elang jawa menhuni hutan hujan yang terdapat mulai dari permukaan laut sampai ketinggian 3.000 mdpl, tetapi lebih menyukai daerah dengan ketinggian 200 mdpl hingga 2.000 mdpl. Jenis hutan yang dihuninya meliputi hutan primer, sekunder dan bahkan hutan produksi. Pohon sarang yang terpilih biasanya terletak di lereng bukit dan merupakan pohon yang tertinggi di sekitar daerah tersebut atau pohon yang salah satu cabangnya mencuat dari bagian tajuk. Jenis pohon sarang yang tercatat meliputi rasamala, pasang, pinus dan puspa, tetapi jenis pohon yang paling sering digunakan untuk bersarang adalah rasamala.

Sumber Pakan
Dalam rantai makanan di alam, elang jawa menduduki posisi puncak yaitu sebagai pemangsa. Berbagai jenis mamalia berukuran kecil hingga sedang seperti kelelawar, bajing, tupai, dan tikus, juga burung serta reptilia tercatat sebagai mangsanya. Ukuran mangsa yang tersebar adalah anak monyet, ttap mangsantai makanan di alam, elang jawa menduduki posisi puncak yaitu sebagai pemangsa. Berbagai jenis mamalia berukuran kecil hingga sedang seperti kelelawar, bajing, tupai, dan tikus, juga burung serta reptilia tercatat sebagai mangsanya. Ukuran mangsa yang tersebar adalah anak monyet, ttap mangsa yang palin disukai adalah bajing dan tupai (Prawiradilaga 1999).
Pada umumnya elang jawa berburu dari tempat bertenggernya di dalam hutan, dan memangsa mamalia pohon berukuran kecil hingga seperti tupai pohon dan bajing, juga kelelawar buah, luak, anak monyet, kadang-kadang memangsa urung walik, punai serta kerabat merpati lainnya dan ayam kampung serta reptilia. Cakar keduanya yang berukuran relatif pendek merupakan bukti bahwa jenis ini tidak terbiasa menangkap burung-burung sewaktu terbang (Sozes 1999).
Tabel 2.  Jenis-jenis pakan elang jawa
Jenis Pakan
Burung
Mamalia
Reptil
1.    Ayam hutan
2.    Puyuh tegalan
3.    Delimukan
4.    Kerabat merpati
5.    Cabak wono
6.    Puyuh gonggong jawa
7.    Pelatuk
1.        Kekes
2.        Lutung
3.        Fruibat
4.        Bat
5.        Jelarang
6.        Bajing
7.        Tikus
8.        Rodensia
9.        Sigung
10.    Monyet ekor panjang
11.    Tupai
1.    Ular
2.    Kadal
3.    Bunglon
Sumber : Utari (2002) dan Setiadi (2000) dimodifikasi
Tabel 3.  Kriteria satwa mangsa elang jawa
Karakteristik Jenis Pakan
Burung
Mamalia
Reptil
1.    Jenis yang tidak gesit bergrak
2.    Terutama jenis yang berukuran sedang sampai besar (25-50 cm)
3.    Jenis-jenis yang hidup di tempat dengan penutupan tajuk yang tidak terlalu tertutup
1.     Semua jenis mamalia kecil
2.     Semua jenis primata terutama yang muda
3.     Mamalia arboreal atau yang hidup di pohon
1.  Jenis-jenis ular dan kadal
Sumber  : Utari (2002)

Populasi dan Kepadatan Populasi Elang Jawa
Elang jawa bertelur hanya satu butir dalam dua tahun. Telurnya berbentuk lonjong dan berukuran sekitar 60 x 42 mm. Cangkangnya berwarna putih kusam berbintik warna coklat tanah. Telur ini akan dierami betina selama 47 hari. Pada elang jawa, dewasa kawin akan dicapai sewaktu berumur empat tahun sedangkan dewasa tubuh diduga terjadi pada umur enam tahun. Elang jawa betina diduga mulai kawin sesudah mencapai dewasa tubuh sedangkan jantan sedangkan yang jantan sudah bisa kawin setelah mencapai dewasa kelamin (Pradiwiradilaga 1999).
Sozer (1999), memperkirakan populasi elang jawa secara kasar dibuat berdasarkan ekstrapolasi dari luas area yang dibutuhkan oleh sepasang serta berdasarkan jumlah habitat yang sesuai yang terdapat di Jawa. Meyburg (1989) dalam Sozer (1999), memperkirakan jumlah pasangan kawin tidak melebihi 50-60 pasang. Dari hasil survey Sozer (1995) dalam Sozer (1999), berdasarkan jumlah burung per bagian hutan (per daerah) didapat 81-108 pasang. Sebagai tambahan, diperkirakan terdapat 23-31 pasang burung pada daerah yag belum disurvei. Lebih jauh lagi, baru-baru ini elang jawa dijumpai pula di beberapa fragmen hutan yang amat terpencil (dimana elang jawa dapat lebih beradaptasi pada fragmentasi hutan dari yang diduga sebelumnya), bila hal tersebut dikombinasikan dengan informasi akan menghasilkan perkiraan populasi baru, yaitu antara 141-204 pasang atau sekitar 600-1000 individu (van Balen 1999 dalam Sozer 1999).
Kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit ruang (Alikodra 2002). Kepadatan jenis elang jawa telah diperkirakan dengan membandingkan data yang terdapat di literatur dengan pengamatan lapangan. Perkiraan yang paling akurat yang berdasarkan pada home range dari pasangan elang jawa (Sozer 1995). Pada tahun 1988 Thiollay dan Meyburg dalam Sozer (1995) memperkirakan bahwa ukuran home range dari pasangan breeding elang jawa berkisar 20 dan 30 km². Perkiraan ini berdasarkan pada penelitian yang lama dengan burung pemangsa jenis lain dan dalam pengamatan pada teritori pasangan elang jawa terlihat sedang display. Meyburg et al. (1989) dalam Sozer (1995), memperkirakan sekitar 4-5 pasangan elang jawa di Taman Nasional Alas Purwo. Dengan 620 km², menghasilkan rata-rata 124-155 km² tiap pasangan.

Wilayah Jelajah
Wilayah jelajah merupakan wilayah yang dijelajahi dalam jalur pergerakan aktivitas hariannya (Ehrlich 1988). Wilayah jelajah adalah tempat tinggal satwa yang tidak diperbolehkan oleh satwa tersebut masuknya satwa lain (jenis yang sama ataupun tidak) ke dalam daerah itu. Apabila daerah tempat tinggal tersebut sudah mulai dipertahankan terhadap masuknya individu lain, maka daerah tersebut merupakan teroterinya. Satwa yang dimaksud adalah baik individu pasangan maupun kelompok (Alikodra 2002).
Wilayah yang dikunjungi satwa liar secara tetap karena dapat mensuplai makanan, minum, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur dan tempat kawin, disebut wilaya jelajah (Home range) (Boughey 1973; Pyke 1983; van Noordwijk 1985 dalam Alikodra 2002). Tempat-tempat minum dan tempat-tempat makan, pada umumnya lebih longgar dipertahankan dalam pemanfaatannya, sehingga satu tempat minum maupun tempat makan seringkali dimanfaatkan secara bergantian maupun bersama-sama. Batas-batas terluar areal teritori biasa dikenali dengan jelas oleh pemiliknya, biasanya ditandai oleh urin, feses, dan sekresi lainnya. Pertahanan teritori ini dilakukan dengan prilaku yang agresif misalnya dengan mengeluarkan suara, ataupun dengan perlawanan fisik. Pada umumnya luasan teritori lebih sempit daripada wilayah jelajah (Alikodra 2002).

Perilaku
Satwa Liar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologi untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Umumnya elang jawa bertengger pada dahan pohon yang tinggi atau mempertahankan teritori dari burung-burung pemangsa lainnya di udara (MacKinnon 1995). Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan kerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002).
Beberapa aktivitas elang jawa yaitu :
a.    Soaring
Soaring yaitu terbang melayang dan berputar, dengan tidak mengepakan sayapnya, hanya memanfaatkan naiknya udara panas. Beberapa asumsi mengatakan elang jawa melakukan soaring adalah untuk mengajarkan anaknya terbang, untuk menarik perhatian pasangannya (khusus pada musim berbiak) dan untuk menentukan areal jelajahnya atau
b.    Gliding
Gliding merupakan bentuk terbang meluncur tanpa adanya aktivitas mengepakannya sayap. Perilaku ini biasa terjadi saat elang ingin terbang dengan menempuh jarak yang cukup jauh.
c.    Display/Undulating
Terbang Undulating adalah terbang naik turun secara periodik denga arak horizontal. Aktivitas ini berfungsi untuk menarik pasangannya, menunjukan teritori dan mengusir individu lainnya (Afianto 1999).
d.   Berburu
Elang jawa melakukan aktivitas berburu dengan dua macam teknik. Teknik yang pertama adalah dengan cara bertengger pada dahan di daerah perburuan sambil mengamati gerakan-gerakan yang mencurigakan sebagai gerakan mangsanya. Apabila mangsa sudah diketahui posisinya maka akan diincar, lalu segera disambar dengan kedua cakarnya. Teknik yang kedua yaitu dengan cara terbang rendah di atas tajuk pohon kemudian berputar-putar mencari mangsa. Apabila mangsa sudah terlihat maka segera meluncur dan menyambar mangsa yang berada di dahan atau lantai hutan (Prawiradilaga 1999).
e.    Perilaku Kawin
Perilaku kawin mulai terlihat pada masa awal pembuatan sarang. Pasangan elang jawa biasanya memulai dengan terbang bersama selama beberapa menit kemudian mereka hinggap pada suatu dahan di pohon sarang atau pada pohon lain yang dekat dengan pohon sarang. Seanjutnya betina akan merundukkan tubuhnya hingga posisi hampir mendatar dengan sayap terbuka sambil mengepakan. Kemudian individu jantan akan menaiki dari belakang dengan sayap terbuka. Setelah kawin elang jantan akan bertengger seentar lalu terbang (Prawiradilaga 1999).
f.     Interaksi Sosial
Perilaku sosial pada umumnya dijumpai pada satwa liar, terutama dalam upaya untuk memanfaatkan sumberdaya di habitatnya, mengenali tanda-tanda bahaya, dan melepaskan diri dari serangan pemangsa. Perilaku sosial ini berkembang sesuai dengan adanya perkembangan dari proses belajar mereka. Ada beberapa hubungan sosial sebagai pola perilaku, yaitu :
  • Hubungan ketergantungan pemeliharaan: hubungan ini biasanya terjadi antara induk dengan anak-anaknya.
  • Hubungan saling menguntungkan
  • Hubungan dominansi-subordinasi: jenis satwa liar dominan pada umumnya adalah satwa liar yang berumur lebih tua, dan individu-individu yang lebih besar. Mereka pada suatu saat akan diganti dengan satu individu dari subordinatnya.
  • Hubungan seksual: hubungan dilakukan oleh satwa liar jantan dan betina dewasa.
  • Hubungan pemimpin dan pengikut
  • Hubungan kerjasama dalam mendapatkan makanan (Alikodra 2002).

Salah satu perilaku sosial yang dilakukan dengan individu lain adalah berupa pertahanan terhadap teritorinya. Perilaku ini biasanya dilakukan pada musim kawin, dimana saat itu elang jawa biasanya leih agresif. Mereka mempunyai perilaku mempertahankan teritori di sekitar sarangnya. Setiap individu lain baik elang yang sejenis maupun berbeda jenis yang diduga akan membahayakan sarangnya akan diusir oleh pasangan pemilik sarang.

Gangguan Terhadap Elang Jawa
Gangguan yang terjadi bagi elang jawa dalam upaya pelertariannya terdapat berupa gangguan langsung dan gangguan tidak langsung. Berikut ini adalah yang merupakan gangguan terhadap kelestarian elang jawa:
  1. Perburuan dan perdagangan elang jawa. Perburuan liar yang sering terjadi adalah kegiaan pengambilan anak elang jawa dari sarang ata penangkapan elang jawa muda yang belum mahir terbang.
  2. Perburuan liar dan perdagangan illegal terhadap satwa yang merupakan mangsa elang jawa.
  3. Peneangan pohon, khususnya pohon sarang elang jawa.
  4. Penggunaan pestisida dan obat anti hama kimia lainnya secara berlebihan.
  5. Penambangan, seperti tambang emas, pasir, batu.
  6. Kebakaran hutan




Daftar Pustaka
Afianto MY. 1999. Studi Beberapa Aspek Ekologi Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924) di Gunung Salak. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Fakultas kehutanan. Bogor.

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Yayasan penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

MacKinon J. 1995. Panduan Lapangan Pengenalan Burung di Jawa dan Bali. Yogyakarta: Gajah Mada Unoversity Press.

Prawiradilaga DM. 1999. Elang Jawa Satwa Langka. Biodiversity Conservation Project. Bogor.

Soerianegara I, A Indrawan. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sozer R, V Nijam. 1995. Behaviour Ecology, Distribution & Conservation of Javan Hawk-eagle Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924. Institute of Systematics and Population Biology University of Amsterdam. Netherlands.

Sozer R, V Nijam, I Setiawan. 1999. Panduan Identifikasi Elang Jawa Spizaetus bartelsi. Biodiversity Conservation Project. Bogor.


selengkapnya >>