Elang Jawa - Nisaetus bartelsi Stresemann, 1924
Javan Hawk Eagle
|
Nisaetus bartelsi |
Elang Jawa Anakan (Juvenille)
Pada waktu baru
menetas hingga berumur sekitar dua minggu, anak elang jawa masih berbulu kapas
halus dan berwarna putih. Setelah itu, akan tumbuh ulu jarum yang berkembang
menjadi bulu burung periode pertumbuhan dengan bentuk mendekati sempurna (bulu
seperti pada saat sudah mencapai dewasa) dan berwarna gelap. Dalam periode ini
jambul mulai tumbuh dan matanya berwarna hitam serta belum bisa terbang
(Prawiradilaga 1999).
Anak elang jawa,
warna kepala dan mahkotanya berwarna coklat kayu manis, tanpa strip kumis
mesia, linkaran mata ketika lahir coklat tua kemudian merubah menjadi berwarna
abu kebiru-biruan. Jambulnya berwarna hitam dengan ujungnya putih, punggung dan
dayap bagian atas coklat dengan bagian bawah coklat kayu manis. Warna bagian
bawah ekornya berwarna keabu-abuan dengan garis lbar di bagian ujungnya yang
terlihat (Sozer 1999).
Elang Jawa Muda (Sub-Adult)
Elang jawa muda
bercirikan jambul yang sudah tumbuh. Warna bulunya coklat dengan warna kmerahan
pada wajah, dada dan perut. Sedangkan tengkuk, sayap, punggung, tungging dan
ekornya berwarna coklet gelap. Matanya berwarna biru, kmudian secara bertahap
warnanya akan memudar menjadi kuning muda (Prawiradilaga 1999). Elang jawa umur
dua tahun (remaja) warna lingkaran matanya lambat laun berubah menjadi kuning,
sedangkan warna mahkotanya berubah menjadi gelap dan garis-garis lebar di
bagian ekor menjadi nyata (Sozer 1999).
Elang Jawa Dewasa (Adult)
Seperti halnya pada semua jenis
elang, elang jawa betina memiliki ukuran tubuh lebih besar dan lebih kekar
daripada jantan. Panjang tubuh berkisar 60 dan 70 cm dengan bobot sekitar 2,5
kg. Jambulnya berwarna coklat kehitaman dengan warna putih pada ujungnya.
Matanya berwarna kuning, kepala, punggung, sayap dan ekornya berwarna coklat
tua dengan ujungnya erwarna krem. Leher, dada dan perutnya berwarna coklat
dengan garis-garis berwarna coklat tuan atau kehitaman. Pada ekornya terdapat
empat buah pita berwarna hitam, namun pada umumnya hanya terlihat tiga buah
pita karena pita yang terdapat pada pangkal ekor sering tersembunyi. Kakinya
rlatif pendek dan kokoh serta tertutup bulu (Prawiradilaga 1999).
Ekologi dan Penyebaran
Elang jawa
merupakan burung yang memiliki penyebaran terbatas (endemik) pulau Jawa dan
berada jarang di semua ketinggian (MacKinnon 1995). Elang jawa merupakan salah
satu jenis burung yang terdapat di pulau Jawa (endemik), dapat ditemukan di
daerah hutan primer dan daerah peralihan di dataran rendah dan hutan pegunungan
di Jawa, lebih umum ditemukan di tengah daerah selatan Jawa. Perluasan daerah
penyebaran terjadi secara dramatis pada abad ke-19 dengan adanya perluasan
daerah pertanian intensif pada jaman kolonial. Perluasan habitat yang ditempati
meliputi 2.590 km² di daerah dataran rendah dan 2.640 km² di hutan lereng dan
meluas di Jawa (Sozer 1999).
Elang jawa
diketahui hidup di habitat hutan hujan tropis mulai dari ketinggian 0 mdpl
dampai dengan 3000 mdpl, walaupun lebih terkonsentrasi pada ketinggian 500 mdpl
sampai dengan 2000 mdpl (Setiadi 2000). Sozer (1999), mengatakan bahwa habitat
tempat bersarang dan teritori yang digunakan selama setahun adalah yang sukar
untuk dicapai, berbukit, hutan awet hijau dataran rendah tropis dan daerah
bawah serta atas hutan huja tropis. Elang jawa menghuni dari daerah pantai
(contoh: Meru Betiri, Ujung Kulon) hingga ketinggian 2.200 mdpl dan
kadang-kadang sampai 3.000 mdpl. Jenis ini sangat tergantung dengan hutan primer.
Menurut
Prawiradilaga (1999), elang jawa menhuni hutan hujan yang terdapat mulai dari
permukaan laut sampai ketinggian 3.000 mdpl, tetapi lebih menyukai daerah
dengan ketinggian 200 mdpl hingga 2.000 mdpl. Jenis hutan yang dihuninya
meliputi hutan primer, sekunder dan bahkan hutan produksi. Pohon sarang yang
terpilih biasanya terletak di lereng bukit dan merupakan pohon yang tertinggi
di sekitar daerah tersebut atau pohon yang salah satu cabangnya mencuat dari
bagian tajuk. Jenis pohon sarang yang tercatat meliputi rasamala, pasang, pinus
dan puspa, tetapi jenis pohon yang paling sering digunakan untuk bersarang
adalah rasamala.
Sumber Pakan
Dalam rantai
makanan di alam, elang jawa menduduki posisi puncak yaitu sebagai pemangsa.
Berbagai jenis mamalia berukuran kecil hingga sedang seperti kelelawar, bajing,
tupai, dan tikus, juga burung serta reptilia tercatat sebagai mangsanya. Ukuran
mangsa yang tersebar adalah anak monyet, ttap mangsantai
makanan di alam, elang jawa menduduki posisi puncak yaitu sebagai pemangsa.
Berbagai jenis mamalia berukuran kecil hingga sedang seperti kelelawar, bajing,
tupai, dan tikus, juga burung serta reptilia tercatat sebagai mangsanya. Ukuran
mangsa yang tersebar adalah anak monyet, ttap mangsa yang palin disukai adalah
bajing dan tupai (Prawiradilaga 1999).
Pada umumnya
elang jawa berburu dari tempat bertenggernya di dalam hutan, dan memangsa
mamalia pohon berukuran kecil hingga seperti tupai pohon dan bajing, juga
kelelawar buah, luak, anak monyet, kadang-kadang memangsa urung walik, punai
serta kerabat merpati lainnya dan ayam kampung serta reptilia. Cakar keduanya
yang berukuran relatif pendek merupakan bukti bahwa jenis ini tidak terbiasa
menangkap burung-burung sewaktu terbang (Sozes 1999).
Tabel
2. Jenis-jenis pakan elang jawa
Jenis
Pakan
|
Burung
|
Mamalia
|
Reptil
|
1. Ayam
hutan
2. Puyuh
tegalan
3. Delimukan
4. Kerabat
merpati
5. Cabak
wono
6. Puyuh
gonggong jawa
7. Pelatuk
|
1.
Kekes
2.
Lutung
3.
Fruibat
4.
Bat
5.
Jelarang
6.
Bajing
7.
Tikus
8.
Rodensia
9.
Sigung
10. Monyet
ekor panjang
11. Tupai
|
1. Ular
2. Kadal
3. Bunglon
|
Sumber : Utari
(2002) dan Setiadi (2000) dimodifikasi
Tabel
3. Kriteria satwa mangsa elang jawa
Karakteristik
Jenis Pakan
|
Burung
|
Mamalia
|
Reptil
|
1. Jenis
yang tidak gesit bergrak
2. Terutama
jenis yang berukuran sedang sampai besar (25-50 cm)
3. Jenis-jenis
yang hidup di tempat dengan penutupan tajuk yang tidak terlalu tertutup
|
1. Semua
jenis mamalia kecil
2. Semua
jenis primata terutama yang muda
3. Mamalia
arboreal atau yang hidup di pohon
|
1. Jenis-jenis
ular dan kadal
|
Sumber : Utari (2002)
Populasi dan Kepadatan Populasi Elang Jawa
Elang jawa bertelur
hanya satu butir dalam dua tahun. Telurnya berbentuk lonjong dan berukuran
sekitar 60 x 42 mm. Cangkangnya berwarna putih kusam berbintik warna coklat
tanah. Telur ini akan dierami betina selama 47 hari. Pada elang jawa, dewasa
kawin akan dicapai sewaktu berumur empat tahun sedangkan dewasa tubuh diduga
terjadi pada umur enam tahun. Elang jawa betina diduga mulai kawin sesudah
mencapai dewasa tubuh sedangkan jantan sedangkan yang jantan sudah bisa kawin
setelah mencapai dewasa kelamin (Pradiwiradilaga 1999).
Sozer (1999),
memperkirakan populasi elang jawa secara kasar dibuat berdasarkan ekstrapolasi
dari luas area yang dibutuhkan oleh sepasang serta berdasarkan jumlah habitat
yang sesuai yang terdapat di Jawa. Meyburg (1989) dalam Sozer (1999), memperkirakan jumlah pasangan kawin tidak
melebihi 50-60 pasang. Dari hasil survey Sozer (1995) dalam Sozer (1999), berdasarkan jumlah burung per bagian hutan (per
daerah) didapat 81-108 pasang. Sebagai tambahan, diperkirakan terdapat 23-31
pasang burung pada daerah yag belum disurvei. Lebih jauh lagi, baru-baru ini
elang jawa dijumpai pula di beberapa fragmen hutan yang amat terpencil (dimana
elang jawa dapat lebih beradaptasi pada fragmentasi hutan dari yang diduga
sebelumnya), bila hal tersebut dikombinasikan dengan informasi akan
menghasilkan perkiraan populasi baru, yaitu antara 141-204 pasang atau sekitar
600-1000 individu (van Balen 1999 dalam
Sozer 1999).
Kepadatan
populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit ruang (Alikodra 2002).
Kepadatan jenis elang jawa telah diperkirakan dengan membandingkan data yang
terdapat di literatur dengan pengamatan lapangan. Perkiraan yang paling akurat
yang berdasarkan pada home range dari
pasangan elang jawa (Sozer 1995). Pada tahun 1988 Thiollay dan Meyburg dalam Sozer (1995) memperkirakan bahwa
ukuran home range dari pasangan breeding elang jawa berkisar 20 dan 30
km². Perkiraan ini berdasarkan pada penelitian yang lama dengan burung pemangsa
jenis lain dan dalam pengamatan pada teritori pasangan elang jawa terlihat
sedang display. Meyburg et al. (1989) dalam Sozer (1995), memperkirakan sekitar 4-5 pasangan elang jawa
di Taman Nasional Alas Purwo. Dengan 620 km², menghasilkan rata-rata 124-155
km² tiap pasangan.
Wilayah Jelajah
Wilayah jelajah
merupakan wilayah yang dijelajahi dalam jalur pergerakan aktivitas hariannya (Ehrlich
1988). Wilayah jelajah adalah tempat tinggal satwa yang tidak diperbolehkan
oleh satwa tersebut masuknya satwa lain (jenis yang sama ataupun tidak) ke
dalam daerah itu. Apabila daerah tempat tinggal tersebut sudah mulai
dipertahankan terhadap masuknya individu lain, maka daerah tersebut merupakan
teroterinya. Satwa yang dimaksud adalah baik individu pasangan maupun kelompok
(Alikodra 2002).
Wilayah yang
dikunjungi satwa liar secara tetap karena dapat mensuplai makanan, minum, serta
mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur dan
tempat kawin, disebut wilaya jelajah (Home
range) (Boughey 1973; Pyke 1983; van Noordwijk 1985 dalam Alikodra 2002). Tempat-tempat minum dan tempat-tempat makan,
pada umumnya lebih longgar dipertahankan dalam pemanfaatannya, sehingga satu
tempat minum maupun tempat makan seringkali dimanfaatkan secara bergantian
maupun bersama-sama. Batas-batas terluar areal teritori biasa dikenali dengan
jelas oleh pemiliknya, biasanya ditandai oleh urin, feses, dan sekresi lainnya.
Pertahanan teritori ini dilakukan dengan prilaku yang agresif misalnya dengan
mengeluarkan suara, ataupun dengan perlawanan fisik. Pada umumnya luasan
teritori lebih sempit daripada wilayah jelajah (Alikodra 2002).
Perilaku
Satwa Liar mempunyai
berbagai perilaku dan proses fisiologi untuk menyesuaikan diri dengan keadaan
lingkungannya. Umumnya elang jawa bertengger pada dahan pohon yang tinggi atau
mempertahankan teritori dari burung-burung pemangsa lainnya di udara (MacKinnon
1995). Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan
yang agresif, melakukan persaingan dan kerjasama untuk mendapatkan pakan,
pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002).
Beberapa
aktivitas elang jawa yaitu :
a. Soaring
Soaring
yaitu terbang melayang dan berputar, dengan tidak
mengepakan sayapnya, hanya memanfaatkan naiknya udara panas. Beberapa asumsi
mengatakan elang jawa melakukan soaring adalah
untuk mengajarkan anaknya terbang, untuk menarik perhatian pasangannya (khusus
pada musim berbiak) dan untuk menentukan areal jelajahnya atau
b. Gliding
Gliding merupakan
bentuk terbang meluncur tanpa adanya aktivitas mengepakannya sayap. Perilaku
ini biasa terjadi saat elang ingin terbang dengan menempuh jarak yang cukup jauh.
c. Display/Undulating
Terbang
Undulating adalah terbang naik turun
secara periodik denga arak horizontal. Aktivitas ini berfungsi untuk menarik
pasangannya, menunjukan teritori dan mengusir individu lainnya (Afianto 1999).
d. Berburu
Elang
jawa melakukan aktivitas berburu dengan dua macam teknik. Teknik yang pertama
adalah dengan cara bertengger pada dahan di daerah perburuan sambil mengamati
gerakan-gerakan yang mencurigakan sebagai gerakan mangsanya. Apabila mangsa
sudah diketahui posisinya maka akan diincar, lalu segera disambar dengan kedua
cakarnya. Teknik yang kedua yaitu dengan cara terbang rendah di atas tajuk
pohon kemudian berputar-putar mencari mangsa. Apabila mangsa sudah terlihat
maka segera meluncur dan menyambar mangsa yang berada di dahan atau lantai
hutan (Prawiradilaga 1999).
e. Perilaku
Kawin
Perilaku
kawin mulai terlihat pada masa awal pembuatan sarang. Pasangan elang jawa
biasanya memulai dengan terbang bersama selama beberapa menit kemudian mereka
hinggap pada suatu dahan di pohon sarang atau pada pohon lain yang dekat dengan
pohon sarang. Seanjutnya betina akan merundukkan tubuhnya hingga posisi hampir
mendatar dengan sayap terbuka sambil mengepakan. Kemudian individu jantan akan
menaiki dari belakang dengan sayap terbuka. Setelah kawin elang jantan akan
bertengger seentar lalu terbang (Prawiradilaga 1999).
f. Interaksi
Sosial
Perilaku
sosial pada umumnya dijumpai pada satwa liar, terutama dalam upaya untuk
memanfaatkan sumberdaya di habitatnya, mengenali tanda-tanda bahaya, dan
melepaskan diri dari serangan pemangsa. Perilaku sosial ini berkembang sesuai
dengan adanya perkembangan dari proses belajar mereka. Ada beberapa hubungan
sosial sebagai pola perilaku, yaitu :
- Hubungan
ketergantungan pemeliharaan: hubungan ini biasanya terjadi antara induk dengan
anak-anaknya.
- Hubungan
saling menguntungkan
- Hubungan
dominansi-subordinasi: jenis satwa liar dominan pada umumnya adalah satwa liar
yang berumur lebih tua, dan individu-individu yang lebih besar. Mereka pada
suatu saat akan diganti dengan satu individu dari subordinatnya.
- Hubungan
seksual: hubungan dilakukan oleh satwa liar jantan dan betina dewasa.
- Hubungan
pemimpin dan pengikut
- Hubungan
kerjasama dalam mendapatkan makanan (Alikodra 2002).
Salah satu
perilaku sosial yang dilakukan dengan individu lain adalah berupa pertahanan
terhadap teritorinya. Perilaku ini biasanya dilakukan pada musim kawin, dimana
saat itu elang jawa biasanya leih agresif. Mereka mempunyai perilaku
mempertahankan teritori di sekitar sarangnya. Setiap individu lain baik elang
yang sejenis maupun berbeda jenis yang diduga akan membahayakan sarangnya akan
diusir oleh pasangan pemilik sarang.
Gangguan Terhadap Elang Jawa
Gangguan yang
terjadi bagi elang jawa dalam upaya pelertariannya terdapat berupa gangguan
langsung dan gangguan tidak langsung. Berikut ini adalah yang merupakan
gangguan terhadap kelestarian elang jawa:
- Perburuan dan
perdagangan elang jawa. Perburuan liar yang sering terjadi adalah kegiaan
pengambilan anak elang jawa dari sarang ata penangkapan elang jawa muda yang
belum mahir terbang.
- Perburuan liar dan
perdagangan illegal terhadap satwa yang merupakan mangsa elang jawa.
- Peneangan pohon,
khususnya pohon sarang elang jawa.
- Penggunaan pestisida
dan obat anti hama kimia lainnya secara berlebihan.
- Penambangan, seperti
tambang emas, pasir, batu.
- Kebakaran hutan
Daftar Pustaka
Afianto MY. 1999. Studi Beberapa
Aspek Ekologi Elang Jawa (Spizaetus
bartelsi Stresemann, 1924) di Gunung Salak. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Fakultas kehutanan. Bogor.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan
Satwa Liar. Yayasan penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
MacKinon J. 1995. Panduan Lapangan
Pengenalan Burung di Jawa dan Bali. Yogyakarta: Gajah Mada Unoversity Press.
Prawiradilaga DM. 1999. Elang Jawa
Satwa Langka. Biodiversity Conservation Project. Bogor.
Soerianegara I, A Indrawan. 1998.
Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Sozer R, V Nijam. 1995. Behaviour
Ecology, Distribution & Conservation of Javan Hawk-eagle Spizaetus bartelsi Stresemann, 1924.
Institute of Systematics and Population Biology University of Amsterdam.
Netherlands.
Sozer R, V Nijam, I Setiawan. 1999.
Panduan Identifikasi Elang Jawa Spizaetus
bartelsi. Biodiversity Conservation Project. Bogor.